Title: Even Only For Last Time
Chapter: 1/1
Length: 2976 words
Genre: Romance, Angst
Rating: PG-15/Straight
Author: Sannia Kim
Casts:
♥ Lee Sora
♥ Kim Jonghyun
♥ Song Seunghyun
♥ Song Seunghee
♥ Lee Jinki
~Sora POV~
Bel pulang berbunyi nyaring. Seluruh siswa di kelas 2A segera menghambur ke luar kelas. Aku baru akan beranjak saat seorang siswi menghampiriku.
“Sora-ah, kau yakin tidak apa pulang sendiri?” kata siswi itu. Dia terlihat sangat mengkhawatirkanku.
“Gwenchana. Sudahlah, tenang saja.” Kataku tersenyum, mencoba meyakinkannya.
“Tapi aku bisa dibunuh Jinki oppa kalau terjadi sesuatu padamu.” Katanya sedikit gelisah.
“Seunghee-ah, aku tahu kau mengkhawatirkanku. Tapi percayalah padaku, aku tidak apa. Jinki oppa tidak akan tahu kalau aku tidak pulang bersamamu. Trust me, ok?”
“Aish, ini gara-gara Seunghyun. Kenapa sih mau beli sepatu saja harus bersamaku?” dia menggerutu pelan.
“Dia kan adikmu, wajar kan kalau dia minta kau temani. Sudahlah, jangan khawatirkan aku. tidak akan terjadi apapun denganku, I’m promise.”
“Seunghee-ah, ayo kita pergi.” Terdengar teriakan khas Seunghyun yang terdengar sedikit manja.
“Aish, kau ini cerewet sekali sih. Sebentar, kau keluarlah dari kelas. Nanti aku menyusul.” Kata Seunghee dengan kesal. Seunghyun yang mengerti benar kakak kembarnya ini sedang sedikit kesal dengan dirinya hanya bisa menggembungkan pipinya dan berjalan keluar kelas.
“Sora-ah, Seunghee sudah berjanji lebih dulu padaku.” Katanya setengah merajuk padaku saat melewati kami.
“Ne, aku tahu.” Aku tertawa mendengarnya merajuk seperti itu.
“Yah, sudahlah, keluar saja sana. Ambil motormu dulu, nanti aku tunggu di gerbang.” Seunghee semakin kesal pada Seunghyun. Seunghyun mendengus kesal dan keluar dari kelas.
“Dasar dia itu. Sudah sebesar itu masih saja manja padaku.” Gerutu Seunghee.
Aku tertawa mendengarnya. Seunghyun dan Seunghee, sahabatku, adalah saudara kembar yang hanya berjarak 3 menit. Seunghyun sangat manja pada Seunghee. Padahal jika tidak sedang bersama Seunghee, Seunghyun bersikap biasa-biasa saja. Mungkin karena selama ini mereka sangat dekat.
“Yah, dia kan adikmu, wajar saja masih manja padamu. Aku saja masih manja pada Jinki oppa.” Kataku sambil tertawa. Dan sekejap saja aku menyesal sudah menyebut nama oppaku di hadapan Seunghee. Wajahnya jadi pucat seketika.
“Kau benar-benar tidak apa pulang sendiri?” bisiknya lirih.
“Gwenchana. Aku bisa pulang naik bus.” Seunghee mengerang saat mendengar jawabanku.
“Aigoo, apalagi kalau kau naik bus sendiri. Bisa-bisa aku digantungnya kalau dia tahu.”
“Kau ini, memang Jinki oppa sekejam itu apa? Sudahlah tidak apa.” Kataku mencoba meyakinkannya.
“Dia bisa sekejam itu kalau menyangkut dirimu.”
Aku tertawa sekali lagi mendengarnya. Jinki oppa, kakakku satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara. Mungkin itulah yang membuat kami berdua sangat dekat. Jinki oppa sangat baik. Dia sangat menyayangiku dan merasa bertanggung jawab menjaga dan melindungiku. Bahkan terkadang aku merasa Jinki oppa terlalu berlebihan menjagaku. Contohnya saja, Jinki oppa tidak pernah membiarkanku pulang sekolah naik bus sendiri. Dia selalu menjemputku setiap hari di tengah kesibukannya kuliah. Dan jika dia terpaksa tidak bisa menjemputku, dia memperbolehkanku pulang sendiri asal ditemani Seunghee, sahabatku. Hanya Seunghee yang dia percaya. Jika tidak bersama Seunghee, dia akan menyuruhku menunggunya sampai dia bisa menjemputku. Terlalu berlebihan menurutku, tapi aku tidak pernah protes. Aku tahu dia melakukannya karena terlalu sayang padaku.
“Yah, jangan tertawa. Aku benar-benar takut.” Seunghee terdengar semakin kesal. Aku tahu dia sangat takut kalau Jinki oppa marah padanya, karena dia menyukai Jinki oppa sejak dulu.
“Tenanglah, dia tidak akan pernah tahu. Sudah sana, Seunghyun pasti sudah menunggumu.”
“Jinja?” dia masih saja ragu.
“Kalau kau masih ragu, aku akan minta diantar pulang Jonghyun.” Kataku mencoba membuat dia tertawa. Dan benar saja, terdengar dia tertawa berderai-derai.
“Yah, mana mungkin kau berani. Mengajak bicara saja tidak berani.”
Aku hanya nyengir mendengarnya. Kim Jonghyun, anak laki-laki yang kusuka. Dia teman sekelas kami. Orangnya sangat pendiam dan tidak punya banyak teman. Hanya Seunghyun lah sahabatnya satu-satunya. Bahkan Seunghee yang sudah mengenalnya sejak SMP tidak dekat dengannya. Itulah yang membuatku tidak berani mendekatinya, meski hanya sekedar menyapanya.
“Ya sudah, aku pergi dulu ya. Jalga.” Suara Seunghee terdengar jauh lebih santai sekarang. Aku melambaikan tanganku padanya.
**************
Aku mengerjapkan mataku. Tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Yang kuingat tadi hanya aku akan pulang ke rumah, tapi kenapa aku bisa duduk di tepi jalan begini? Aku bangun dan tiba-tiba pandanganku tertuju pada toko buku di seberang jalan. Ah ya, aku kan tadi akan ke toko buku itu. Dengan segera aku menyeberang dan menuju toko buku itu. Di seberang jalan, aku melihat Jonghyun berdiri dengan wajah pucat, pandangannya terpaku ke seberang jalan yang kulalui tadi. Aku hanya memandangnya heran. Sepertinya Jonghyun menyadari aku sedang memandanginya, dia mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku segera menundukkan kepalaku, mencoba menyembunyikan wajahku yang sepertinya mulai memerah.
“Sora-ssi.” Tiba-tiba terdengar suara Jonghyun. Aku mengangkat wajahku. Dia sudah berdiri di depanku. Matanya tampak terbelalak dan wajahnya semakin pucat. Aku semakin heran melihatnya. Dia terlihat sangat aneh.
“Jonghyun-ssi.” Hanya kata-kata itu yang terpikir dalam benakku. Wajahnya berangsur-angsur berubah normal. Namun anehnya wajahnya malah menunjukkan kesedihan sekarang.
“Sora-ssi, mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Aku mau ke toko buku dulu sebelum pulang.” Ekspresi Jonghyun berubah menjadi terkejut sekarang. Dia menatapku semakin lekat. Aku menundukkan wajahku, malu melihatnya menatapku seperti itu.
“Pulang…ke mana?” tanyanya setengah berbisik.
“Eh? Pulang ke rumah, tentu saja.” Kataku heran sambil menatap wajahnya. Jonghyun memalingkan wajahnya dan menghembuskan napas panjang. Aku semakin heran melihatnya.
“Mau pergi bersamaku?” tanyanya tiba-tiba. aku sangat terkejut mendengarnya. Ini benar-benar di luar dugaan.
“Eh? Ke mana?”
“Sudahlah, ikut saja. Mau tidak?” tanyanya lagi.
“Ne.”
“Tunggu sebentar di sini. Aku akan mengambil motorku.” Katanya sambil beranjak pergi. Aku tidak tahu harus berkata apa. Bahkan hal-hal seperti ini tidak pernah kubayangkan dalam bayangan terindahku tentang Jonghyun.
**************
“Jonghyun-ssi…pantainya indah sekali!!!!!!” teriakku riang sambil berlari menuju ke laut. Jonghyun mengajakku ke sebuah pantai yang sepi. Sepertinya pantai ini bukan tempat wisata. Terlalu sepi di sini.
“Aku tahu kau pasti senang.” Kata Jonghyun sambil tersenyum lembut dan berdiri di sampingku. Aku memandang laut yang membentang luas di hadapanku. Sangat indah dan tenang.
“Kau sering ke sini?”
“Ne. Setiap kali aku butuh ketenangan, aku selalu kemari.”
“Apa kau mau mengajakku lagi kalau kau mau kemari?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Sesaat wajah tampannya terlihat kebingungan.
“Apa kau mau pergi denganku lagi?”
“Mau. Aku pasti mau.” Aku mengangguk kuat-kuat, takut dia mengira aku hanya bermain-main. Jonghyun tertawa melihatku. Belum pernah aku mendengarnya tertawa.
“Yah, baru kali ini aku melihatmu tertawa.”
“Jinja? Sepertinya aku lumayan sering tertawa.” Katanya, kemudian tertawa lagi.
“Aniyo. Kau tidak pernah tertawa. Kau selalu serius setiap harinya.” Kataku sambil tertawa. Dia tertawa semakin lepas. Ah, wajahnya sungguh sangat tampan saat sedang tertawa begitu.
“Jadi, kau mau mengajakku kan?”
“Tergantung….”
“Tergantung apa?” potongku tidak sabar.
“Kita lihat seberapa cepat larimu. Kalau kau cukup cepat untuk menghindari tangkapanku, aku akan mengajakmu lagi. Ottoke?”
“Yah, kau curang. Mana mungkin aku berlari lebih cepat darimu.” Kataku sambil menggembungkan pipiku. Aku tahu, Jonghyun sangat cepat dalam berlari. Beberapa kali aku melihatnya berlari sangat cepat saat pelajaran olahraga.
“Ya, atau tidak sama sekali.” Katanya sambil tersenyum.
“Baiklah. Tangkap aku kalau bisa.” Aku menyerah. Akhirnya aku berlari. Jonghyun mengejarku di belakangnya. Aku tertawa saat kurasakan kakiku berlari sangat cepat, seakan-akan tidak menginjak tanah. Aneh sekali, biasanya tidak pernah aku berlari secepat ini. Mungkin karena aku terlalu senang bisa bermain bersama Jonghyun. Senang sekali rasanya. Aku menengok ke arah belakang dan betapa terkejutnya aku saat melihat Jonghyun terduduk. Sepertinya dia jatuh. Aku segera berlari ke arah Jonghyun.
“Jonghyun-ssi. Gwenchanayo?” kataku setengah berteriak. Namun Jonghyun hanya diam. Aku semakin mempercepat lariku. Tapi saat jarak kami berdua semakin dekat, tiba-tiba Jonghyun berlari ke arahku.
“Sora-ssi, aku akan menangkapmu.” Teriaknya sambil tertawa. Aku kaget mendengarnya, dan dengan refleks yang luar biasa,-entah darimana aku mendapatkannya- aku berbalik dan lari menjauhi Jonghyun.
“Yah, kau curang.” Teriakku. Jonghyun hanya tertawa mendengarnya. Aku jadi ikut tertawa. Cukup lama kami berlari. Namun anehnya aku tidak merasa lelah sedikitpun.
“Baiklah, aku menyerah. Aku janji akan mengajakmu lagi lain kali.” Teriaknya. Aku berhenti dan menatapnya yang sudah berbaring di atas pasir pantai yang putih.
“Jinja? Nanti kau bohong.”
“Ani. Aku janji.” Katanya terengah-engah. Aku tertawa dan berjalan menghampirinya. Kemudian aku duduk di sebelahnya, menatap matahari yang tengah terbenam. Jonghyun bangkit dari posisi berbaringnya,ikut duduk di sebelahku.
Kami terdiam cukup lama, menikmati keindahan di depan kami. Langit senja begitu indah. Warna merah membentuk lembayung senja, menaungi matahari berbentuk setengah bola yang perlahan tenggelam ke dalam laut, seolah ada pusaran air maha kuat yang mampu menariknya ke dalam sana.
“Yeppeo…” tiba-tiba terdengar suara Jonghyun memecah keheningan di antara kami. Aku sangat terkejut mendengarnya. Wajahku terasa sangat panas. Aku menoleh ke arah Jonghyun dan melihatnya yang tengah menatapku lekat. Aku balas menatapnya. Wajah tampannya yang disinari matahari senja tampak semakin tampan.
“Sora-ssi, kau cantik sekali..” terdengar lagi suaranya. Aku yakin sekarang pasti wajahku sudah merah padam menahan malu. Aku memalingkan wajahku dan membenamkannya di antara kedua lututku. Aku terlalu malu untuk menatap wajahnya. Bagaimana ya reaksi Seunghee saat mendengar ceritaku? Apa ya yang akan dikatakan Jinki oppa kalau tahu?
Jinki oppa. Sesaat aku terkejut. Dia pasti sudah mencariku. Dia pasti sangat khawatir aku belum pulang sampai sesore ini. Pasti dia akan menelepon Seunghee dan dia pasti tahu aku tidak pulang bersama Seunghee hari ini. Aku segera berdiri dan menatap Jonghyun yang memandangku heran.
“Sora-ssi, waeyo?” tanyanya heran.
“Jonghyun-ssi,aku…aku..aku mau pulang.” Meski aku ingin lebih lama di sini, bersama Jonghyun. Sesaat aku memandang ekspresi Jonghyun yang berubah. Matanya kini memancarkan kesedihan yang tak kumengerti.
“Anu..bukannya aku tidak suka pergi bersamamu. Tapi oppaku pasti sudah bingung mencariku.” Kataku pelan.
“Dan, kalau kau belum mau pulang, aku tidak apa. Aku akan pulang sendiri.” Lanjutku buru-buru.
“Andwae. Andwae.” Kata Jonghyun setengah berteriak. Aku sampai kaget melihat tanggapannya yang terlalu berlebihan.
“Anu..aku yang sudah mengajakmu pulang. Sudah seharusnya aku yang mengantarmu pulang.” Katanya pelan.
“Kkaja, kita pulang.” Dia berjalan menuju motornya, sedang aku mengikutinya dari belakang.
****************
Perjalanan pulang terasa begitu lama. Kami berdua banyak terdiam. Sesekali aku menunjukkan jalan menuju rumahku pada Jonghyun. Entah hanya aku yang merasa, tapi sepertinya Jonghyun sengaja melambatkan laju motornya. Sebenarnya aku enggan pulang. Aku enggan melepas semua kebersamaan kami. Tapi aku tahu aku harus pulang. Appa dan Eomma pasti sudah pulang. Mereka pasti sudah khawatir sekarang.
Akhirnya kami sampai juga di depan rumahku. Tapi ada yang aneh. Rumahku tampak begitu ramai. Banyak sekali orang yang ada di sana, dan semuanya memakai baju hitam. Suasananya seperti ada yang meninggal. Aku terkesiap. Siapa yang meninggal? Tanpa pikir panjang segera aku berlari menuju rumah.
Betapa terkejutnya aku saat mendapati di ruang tamu tampak sebuah peti mati yang ditutupi kain putih. Dan di atas peti itu…ada foto… aku mengerjapkan mataku tak percaya. Tidak..ini…tidak..mungkin… Aku melihat fotoku di atas peti mati itu. Tubuhku seakan membeku. Aku menatap kaku ke arah sekitar ruangan.
Terlihat Appaku yang sedang memeluk Eomma erat. Sedangkan Eomma menangis tersedu-sedu dalam pelukan Appa. Di sebelahnya tampak Jinki oppa menatap kaku ke arah perti mati. Air mata meluncur pelan di pipinya, tanpa dia tutupi. Hatiku seakan tertancap sembilu. Tubuhku lemas seketika. Aku jatuh terduduk dan tanpa sengaja aku memandang Seunghyun dan Seunghee di sisi lain ruangan ini. Seunghee menangis terisak-isak, dalam pelukan Seunghyun.
“Ini semua gara-gara aku.. coba aku bersikeras pulang bersamanya.” Kata Seunghee di sela-sela isakannya.
“Ani, Seunghee-ah… Ani… ini semua salahku. Seharusnya aku tidak menghalangimu yang akan pulang bersamanya.” Suara Seunghyun terdengar parau, dan dia ikut menangis bersama Seunghyun.
Tiba-tiba kepalaku berdenging. Aku pusing luar biasa. Aku memegang kepalaku erat. Bagaimana mungkin mereka semua mengira aku meninggal? Bukankah aku ada di sini, di antara mereka? Lalu bukannya aku melewatkan sesorean ini bersama Jonghyun? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Missing link yang menghilang dari otakku saat aku terbangun di tepi jalan tadi.
~Flashback~
“Mungkin aku lebih baik ke toko buku dulu saja.” Pikirku saat melihat toko buku di seberang jalan. Tanpa pikir panjang aku langsung menyeberang, menuju toko buku itu. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi klakson nyaring yang memekakkan telinga. Aku menengok ke arah sumber bunyi itu. Kulihat sebuah sedan hitam yang meluncur cepat ke arahku. Pengemudinya berteriak menyuruhku minggir. Sepertinya rem mobil itu blong. Aku hanya bisa memandang kaku ke arah mobil itu. Aku ingin berlari menghindar, tapi aku tak kuasa menggerakkan tubuhku sedikitpun.
BRAKKKKK!!!!
Aku mendengar suara seorang wanita yang menjerit, sepertinya itu suaraku, dan kemudian gelap yang kurasakan.
~End of Flashback~
Kemudian aku teringat saat Jonghyun memandang kaku ke arah seberang jalan yang sempat kulalui, pasti dia tengah memandang tempat dimana aku tertabrak, lalu perilaku Jonghyun yang aneh saat kami bertemu di depan toko buku, dan lariku yang sangat cepat.
Jadi itu semua benar. Itu benar. Aku sudah meninggal. Aku bukanlah manusia. Aku hanyalah roh tanpa tubuh. Aku menjerit kuat.
“TIDAAAAAAKKKKKKKKKK!!!!!!!!!”
Kemudian aku berlari keluar. Jonghyun yang menunggu di dekat motornya terperangah melihatku yang berlari. Aku tidak memperdulikannya. Aku hanya ingin berlari, dan menenangkan diriku.
“Sora-ssi!!!!” teriaknya. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin berlari, dan terus berlari. Entah ke mana..
*******************
Aku memandang bintang yang terlihat begitu indah di langit. Sesaat kugoyangkan ayunan tempatku duduk. Tiba-tiba kurasa ada orang yang duduk di ayunan sebelahku. Aku menoleh, dan kulihat Jonghyun duduk, tanpa memandangku. Aku memalingkan wajahku. Sesaat kami terdiam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
“Kau sudah tahu dari awal kalau aku…” kugantungkan kalimatku, rasanya aku tidak kuasa menyebut satu kata itu.
“Ne.”
“Kenapa kau tidak memberitahukannya langsung padaku?”
“Apa aku tega mengatakan kalau kau sudah….” dia pun tidak kuasa melanjutkan kata-katanya.
“Lalu kenapa kau bisa melihatku? Tadi banyak sekali orang di rumahku, tapi tidak ada seorangpun yang bisa melihatku.”
“Itu sudah jadi kemampuanku sejak kecil. Aku bisa melihat roh, arwah, dan sejenisnya. Itu jugalah yang membuat aku menarik diriku dari pergaulan. Aku takut banyak yang akan menganggapku aneh kalau mengetahui kemampuanku. Karenanya sebisa mungkin aku menutup diri dari teman-teman.”
“Apa Seunghyun tahu?”
“Ne. Bahkan awal dari persahabatan kami karena aku menolongnya dari arwah anak perempuan yang tergila-gila padanya. Lucu sekali, anak perempuan itu, meski sudah jadi arwah penasaran masih saja terus mengikuti Seunghyun. Yang membuatku heran, Seunghyun tidak kaget ataupun takut setelah mengatahui kemampuanku. Sejak itulah kami bersahabat.”
“Arwah anak perempuan itu…dia sebenarnya apa?”
“Kasihan sekali dia. Dia tidak tenang meninggalkan dunia ini, sehingga arwahnya gentayangan tidak menentu.”
“Apa aku juga seperti dia?” aku menoleh memandang Jonghyun. Jonghyun masih saja tidak memandangku. Pandangannya lurus ke depan.
“Ani. Kau berbeda. Biasanya arwah yang seperti itu rohnya tidak utuh. Tapi kau begitu utuh, tidak kurang suatu apapun. Saat di pantai, aku melihatmu untuk memastikan apa ada sesuatu yang tidak utuh dari dirimu. Tapi tidak ada yang kurang padamu. Rohmu sempurna, seperti manusia yang hidup. Hanya saja tanpa tubuh. Dan kau..masih saja secantik biasanya.” Aku melihat semburat merah di wajah tampannya. Aku memalingkan wajahku yang terasa panas. Apa wajahku juga bisa memerah ya?
“Lalu kenapa aku bisa berjalan-jalan begini? Kenapa aku tidak pergi ke alam lain?” tanyaku perlahan.
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Jarang aku menemukan roh yang begitu utuh sepertimu di sekitarku. Biasanya roh yang utuh akan langsung pergi ke alam lain. Tapi aku bersyukur Tuhan tidak langsung memanggilmu.”
“Waeyo?” aku benar-benar heran dengannya. Aku menoleh dan menatapnya yang tengah memandangku lekat.
“Karena aku bisa bicara denganmu, aku bisa pergi denganmu, dan aku bisa mengungkapkan apa yang kupikirkan tentangmu selama ini. Selama ini aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Aku suka sekali melihatmu yang begitu ceria, aku suka semua tentangmu. Dan yang paling kusuka adalah senyummu. Aku sangat suka melihatmu tersenyum. Belum pernah aku merasakan yang seperti ini. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku tidak berani mendekatimu, meski hanya selangkah. Karena aku tahu aku ini memiliki kemampuan aneh. Dan jika aku dekat denganmu, cepat atau lambat kau akan mengetahuinya. Aku tidak ingin kau menjauh karena ketakutan dan menganggapku aneh. Aku rela setiap orang mencemoohku karena kemampuan anehku ini, tapi aku tidak ingin kau memandangku begitu. Karena aku mencintaimu. Sora-ssi, Saranghaeyo.” Jonghyun tersenyum lembut sambil memandangku.
“Jonghyun-ssi, aku pun merasakan hal yang sama. Sudah sejak lama aku juga menyukaimu. Tapi kau begitu tertutup, kau seolah membentengi dirimu dari orang lain. Itu yang membuatku ragu. Jonghyun-ssi, Nado Saranghae”
“Gomawo, Sora-ssi. Terima kasih karena kau telah memberikan satu hari terindah dalam hidupku. Terima kasih, kau telah membuatku bersyukur memiliki kemampuan aneh ini untuk pertama kalinya.”
“Ani. Harusnya aku yang berterima kasih. Terima kasih karena kau telah membuatku mengenal perasaan indah ini, dan merasakan ada orang lain yang mencintaiku. Terima kasih untuk satu hari yang indah ini, meski untuk terakhir kalinya dan tak kan pernah terulang.”
Aku merasakan ada cahaya dari langit yang berpendar menyinariku. Aku tahu inilah saatku. Aku harus sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan satu hari yang indah bersama Jonghyun. Aku berdiri dan bersiap pergi.
“Jonghyun-ssi, aku pergi dulu. Sekali lagi terima kasih. Saranghae.” Kataku dengan suara yang bergetar.
“Nado saranghae.” Katanya sambil tersenyum, meski air mata meluncur deras di pipinya. Ah, jika saja aku masih hidup, pasti aku akan menangis sama sepertinya.
~End of Sora POV~
~Jonghyun POV~
Aku bergetar memandang tubuh Sora yang perlahan-lahan menghilang. Air mata meluncur deras di pipiku. Saat Sora benar-benar menghilang, langit seketika berubah mendung, cahaya bintang seakan lenyap ditelan awan tebal, benar-benar gelap dan suram. Segelap hatiku yang merasa kehilangan bintang.
Dialah bintang bagiku. Sejak pertama menatapnya, aku sudah jatuh hati padanya. Dia seolah menerangi mendung di hatiku. Tiap malam, saat aku merasa kesepian, mengingat senyumnya membuatku merasa tak sendiri lagi. Semua ucapannya, semua tingkah lakunya, dan semua yang kulihat tentang dirinya terekam dengan baik dalam otakku, dan selalu muncul di saat aku merasa sedih dan menyesali kemampuan anehku ini. Selalu berhasil membuatku tersenyum. Aku hapal caranya tersenyum. Aku hapal gelak tawanya. Tawanya selalu mengobarkan api semangat dalam diriku, bagai udara yang mengisi paru-paruku.
Tapi kini dia pergi, meninggalkan lubang penyesalan yang begitu dalam di hatiku, membuatku terbenam ke dalamnya bersama dengan segenap cintaku padanya.
Angin malam mulai berhembus kencang. Kudekap dadaku erat, seolah angin ini membuat lubang itu semakin dalam. Dan kini hanya perih yang kurasa di dasar lubang itu. Air mataku tak terbendung lagi. Aku mencintainya. Aku sangat mencintainya. Kata-kata ini terus terngiang di telingaku. Membuat kepalaku seolah akan meledak akan penyesalanku. Andai sejak dulu… andai aku diberi kesempatan kedua.
Tapi aku tahu aku seharusnya merasa bersyukur. Aku diberikan kesempatan untuk berbicara dengannya, memandang lekat dirinya, dan tertawa bersamanya oleh Tuhan. Meski hanya untuk terakhir kali… Meski tak akan terulang lagi.
Lee Sora, Jeongmal Saranghaeyo…. I will always love you.. Semoga kau tenang di alam sana. Tunggulah aku… Aku akan menyusulmu ke surga….
Tunggu aku…
THE END
Title: Even Only For Last Time
Chapter: 1/1
Length: 2976 words
Genre: Romance, Angst
Rating: PG-15/Straight
Author: Sannia Kim
Casts:
❤ Lee Sora
❤ Kim Jonghyun
❤ Song Seunghyun
❤ Song Seunghee
❤ Lee Jinki
~Sora POV~
Bel pulang berbunyi nyaring. Seluruh siswa di kelas 2A segera menghambur ke luar kelas. Aku baru akan beranjak saat seorang siswi menghampiriku.
“Sora-ah, kau yakin tidak apa pulang sendiri?” kata siswi itu. Dia terlihat sangat mengkhawatirkanku.
“Gwenchana. Sudahlah, tenang saja.” Kataku tersenyum, mencoba meyakinkannya.
“Tapi aku bisa dibunuh Jinki oppa kalau terjadi sesuatu padamu.” Katanya sedikit gelisah.
“Seunghee-ah, aku tahu kau mengkhawatirkanku. Tapi percayalah padaku, aku tidak apa. Jinki oppa tidak akan tahu kalau aku tidak pulang bersamamu. Trust me, ok?”
“Aish, ini gara-gara Seunghyun. Kenapa sih mau beli sepatu saja harus bersamaku?” dia menggerutu pelan.
“Dia kan adikmu, wajar kan kalau dia minta kau temani. Sudahlah, jangan khawatirkan aku. tidak akan terjadi apapun denganku, I’m promise.”
“Seunghee-ah, ayo kita pergi.” Terdengar teriakan khas Seunghyun yang terdengar sedikit manja.
“Aish, kau ini cerewet sekali sih. Sebentar, kau keluarlah dari kelas. Nanti aku menyusul.” Kata Seunghee dengan kesal. Seunghyun yang mengerti benar kakak kembarnya ini sedang sedikit kesal dengan dirinya hanya bisa menggembungkan pipinya dan berjalan keluar kelas.
“Sora-ah, Seunghee sudah berjanji lebih dulu padaku.” Katanya setengah merajuk padaku saat melewati kami.
“Ne, aku tahu.” Aku tertawa mendengarnya merajuk seperti itu.
“Yah, sudahlah, keluar saja sana. Ambil motormu dulu, nanti aku tunggu di gerbang.” Seunghee semakin kesal pada Seunghyun. Seunghyun mendengus kesal dan keluar dari kelas.
“Dasar dia itu. Sudah sebesar itu masih saja manja padaku.” Gerutu Seunghee.
Aku tertawa mendengarnya. Seunghyun dan Seunghee, sahabatku, adalah saudara kembar yang hanya berjarak 3 menit. Seunghyun sangat manja pada Seunghee. Padahal jika tidak sedang bersama Seunghee, Seunghyun bersikap biasa-biasa saja. Mungkin karena selama ini mereka sangat dekat.
“Yah, dia kan adikmu, wajar saja masih manja padamu. Aku saja masih manja pada Jinki oppa.” Kataku sambil tertawa. Dan sekejap saja aku menyesal sudah menyebut nama oppaku di hadapan Seunghee. Wajahnya jadi pucat seketika.
“Kau benar-benar tidak apa pulang sendiri?” bisiknya lirih.
“Gwenchana. Aku bisa pulang naik bus.” Seunghee mengerang saat mendengar jawabanku.
“Aigoo, apalagi kalau kau naik bus sendiri. Bisa-bisa aku digantungnya kalau dia tahu.”
“Kau ini, memang Jinki oppa sekejam itu apa? Sudahlah tidak apa.” Kataku mencoba meyakinkannya.
“Dia bisa sekejam itu kalau menyangkut dirimu.”
Aku tertawa sekali lagi mendengarnya. Jinki oppa, kakakku satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara. Mungkin itulah yang membuat kami berdua sangat dekat. Jinki oppa sangat baik. Dia sangat menyayangiku dan merasa bertanggung jawab menjaga dan melindungiku. Bahkan terkadang aku merasa Jinki oppa terlalu berlebihan menjagaku. Contohnya saja, Jinki oppa tidak pernah membiarkanku pulang sekolah naik bus sendiri. Dia selalu menjemputku setiap hari di tengah kesibukannya kuliah. Dan jika dia terpaksa tidak bisa menjemputku, dia memperbolehkanku pulang sendiri asal ditemani Seunghee, sahabatku. Hanya Seunghee yang dia percaya. Jika tidak bersama Seunghee, dia akan menyuruhku menunggunya sampai dia bisa menjemputku. Terlalu berlebihan menurutku, tapi aku tidak pernah protes. Aku tahu dia melakukannya karena terlalu sayang padaku.
“Yah, jangan tertawa. Aku benar-benar takut.” Seunghee terdengar semakin kesal. Aku tahu dia sangat takut kalau Jinki oppa marah padanya, karena dia menyukai Jinki oppa sejak dulu.
“Tenanglah, dia tidak akan pernah tahu. Sudah sana, Seunghyun pasti sudah menunggumu.”
“Jinja?” dia masih saja ragu.
“Kalau kau masih ragu, aku akan minta diantar pulang Jonghyun.” Kataku mencoba membuat dia tertawa. Dan benar saja, terdengar dia tertawa berderai-derai.
“Yah, mana mungkin kau berani. Mengajak bicara saja tidak berani.”
Aku hanya nyengir mendengarnya. Kim Jonghyun, anak laki-laki yang kusuka. Dia teman sekelas kami. Orangnya sangat pendiam dan tidak punya banyak teman. Hanya Seunghyun lah sahabatnya satu-satunya. Bahkan Seunghee yang sudah mengenalnya sejak SMP tidak dekat dengannya. Itulah yang membuatku tidak berani mendekatinya, meski hanya sekedar menyapanya.
“Ya sudah, aku pergi dulu ya. Jalga.” Suara Seunghee terdengar jauh lebih santai sekarang. Aku melambaikan tanganku padanya.
**************
Aku mengerjapkan mataku. Tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Yang kuingat tadi hanya aku akan pulang ke rumah, tapi kenapa aku bisa duduk di tepi jalan begini? Aku bangun dan tiba-tiba pandanganku tertuju pada toko buku di seberang jalan. Ah ya, aku kan tadi akan ke toko buku itu. Dengan segera aku menyeberang dan menuju toko buku itu. Di seberang jalan, aku melihat Jonghyun berdiri dengan wajah pucat, pandangannya terpaku ke seberang jalan yang kulalui tadi. Aku hanya memandangnya heran. Sepertinya Jonghyun menyadari aku sedang memandanginya, dia mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku segera menundukkan kepalaku, mencoba menyembunyikan wajahku yang sepertinya mulai memerah.
“Sora-ssi.” Tiba-tiba terdengar suara Jonghyun. Aku mengangkat wajahku. Dia sudah berdiri di depanku. Matanya tampak terbelalak dan wajahnya semakin pucat. Aku semakin heran melihatnya. Dia terlihat sangat aneh.
“Jonghyun-ssi.” Hanya kata-kata itu yang terpikir dalam benakku. Wajahnya berangsur-angsur berubah normal. Namun anehnya wajahnya malah menunjukkan kesedihan sekarang.
“Sora-ssi, mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Aku mau ke toko buku dulu sebelum pulang.” Ekspresi Jonghyun berubah menjadi terkejut sekarang. Dia menatapku semakin lekat. Aku menundukkan wajahku, malu melihatnya menatapku seperti itu.
“Pulang…ke mana?” tanyanya setengah berbisik.
“Eh? Pulang ke rumah, tentu saja.” Kataku heran sambil menatap wajahnya. Jonghyun memalingkan wajahnya dan menghembuskan napas panjang. Aku semakin heran melihatnya.
“Mau pergi bersamaku?” tanyanya tiba-tiba. aku sangat terkejut mendengarnya. Ini benar-benar di luar dugaan.
“Eh? Ke mana?”
“Sudahlah, ikut saja. Mau tidak?” tanyanya lagi.
“Ne.”
“Tunggu sebentar di sini. Aku akan mengambil motorku.” Katanya sambil beranjak pergi. Aku tidak tahu harus berkata apa. Bahkan hal-hal seperti ini tidak pernah kubayangkan dalam bayangan terindahku tentang Jonghyun.
**************
“Jonghyun-ssi…pantainya indah sekali!!!!!!” teriakku riang sambil berlari menuju ke laut. Jonghyun mengajakku ke sebuah pantai yang sepi. Sepertinya pantai ini bukan tempat wisata. Terlalu sepi di sini.
“Aku tahu kau pasti senang.” Kata Jonghyun sambil tersenyum lembut dan berdiri di sampingku. Aku memandang laut yang membentang luas di hadapanku. Sangat indah dan tenang.
“Kau sering ke sini?”
“Ne. Setiap kali aku butuh ketenangan, aku selalu kemari.”
“Apa kau mau mengajakku lagi kalau kau mau kemari?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Sesaat wajah tampannya terlihat kebingungan.
“Apa kau mau pergi denganku lagi?”
“Mau. Aku pasti mau.” Aku mengangguk kuat-kuat, takut dia mengira aku hanya bermain-main. Jonghyun tertawa melihatku. Belum pernah aku mendengarnya tertawa.
“Yah, baru kali ini aku melihatmu tertawa.”
“Jinja? Sepertinya aku lumayan sering tertawa.” Katanya, kemudian tertawa lagi.
“Aniyo. Kau tidak pernah tertawa. Kau selalu serius setiap harinya.” Kataku sambil tertawa. Dia tertawa semakin lepas. Ah, wajahnya sungguh sangat tampan saat sedang tertawa begitu.
“Jadi, kau mau mengajakku kan?”
“Tergantung….”
“Tergantung apa?” potongku tidak sabar.
“Kita lihat seberapa cepat larimu. Kalau kau cukup cepat untuk menghindari tangkapanku, aku akan mengajakmu lagi. Ottoke?”
“Yah, kau curang. Mana mungkin aku berlari lebih cepat darimu.” Kataku sambil menggembungkan pipiku. Aku tahu, Jonghyun sangat cepat dalam berlari. Beberapa kali aku melihatnya berlari sangat cepat saat pelajaran olahraga.
“Ya, atau tidak sama sekali.” Katanya sambil tersenyum.
“Baiklah. Tangkap aku kalau bisa.” Aku menyerah. Akhirnya aku berlari. Jonghyun mengejarku di belakangnya. Aku tertawa saat kurasakan kakiku berlari sangat cepat, seakan-akan tidak menginjak tanah. Aneh sekali, biasanya tidak pernah aku berlari secepat ini. Mungkin karena aku terlalu senang bisa bermain bersama Jonghyun. Senang sekali rasanya. Aku menengok ke arah belakang dan betapa terkejutnya aku saat melihat Jonghyun terduduk. Sepertinya dia jatuh. Aku segera berlari ke arah Jonghyun.
“Jonghyun-ssi. Gwenchanayo?” kataku setengah berteriak. Namun Jonghyun hanya diam. Aku semakin mempercepat lariku. Tapi saat jarak kami berdua semakin dekat, tiba-tiba Jonghyun berlari ke arahku.
“Sora-ssi, aku akan menangkapmu.” Teriaknya sambil tertawa. Aku kaget mendengarnya, dan dengan refleks yang luar biasa,-entah darimana aku mendapatkannya- aku berbalik dan lari menjauhi Jonghyun.
“Yah, kau curang.” Teriakku. Jonghyun hanya tertawa mendengarnya. Aku jadi ikut tertawa. Cukup lama kami berlari. Namun anehnya aku tidak merasa lelah sedikitpun.
“Baiklah, aku menyerah. Aku janji akan mengajakmu lagi lain kali.” Teriaknya. Aku berhenti dan menatapnya yang sudah berbaring di atas pasir pantai yang putih.
“Jinja? Nanti kau bohong.”
“Ani. Aku janji.” Katanya terengah-engah. Aku tertawa dan berjalan menghampirinya. Kemudian aku duduk di sebelahnya, menatap matahari yang tengah terbenam. Jonghyun bangkit dari posisi berbaringnya,ikut duduk di sebelahku.
Kami terdiam cukup lama, menikmati keindahan di depan kami. Langit senja begitu indah. Warna merah membentuk lembayung senja, menaungi matahari berbentuk setengah bola yang perlahan tenggelam ke dalam laut, seolah ada pusaran air maha kuat yang mampu menariknya ke dalam sana.
“Yeppeo…” tiba-tiba terdengar suara Jonghyun memecah keheningan di antara kami. Aku sangat terkejut mendengarnya. Wajahku terasa sangat panas. Aku menoleh ke arah Jonghyun dan melihatnya yang tengah menatapku lekat. Aku balas menatapnya. Wajah tampannya yang disinari matahari senja tampak semakin tampan.
“Sora-ssi, kau cantik sekali..” terdengar lagi suaranya. Aku yakin sekarang pasti wajahku sudah merah padam menahan malu. Aku memalingkan wajahku dan membenamkannya di antara kedua lututku. Aku terlalu malu untuk menatap wajahnya. Bagaimana ya reaksi Seunghee saat mendengar ceritaku? Apa ya yang akan dikatakan Jinki oppa kalau tahu?
Jinki oppa. Sesaat aku terkejut. Dia pasti sudah mencariku. Dia pasti sangat khawatir aku belum pulang sampai sesore ini. Pasti dia akan menelepon Seunghee dan dia pasti tahu aku tidak pulang bersama Seunghee hari ini. Aku segera berdiri dan menatap Jonghyun yang memandangku heran.
“Sora-ssi, waeyo?” tanyanya heran.
“Jonghyun-ssi,aku…aku..aku mau pulang.” Meski aku ingin lebih lama di sini, bersama Jonghyun. Sesaat aku memandang ekspresi Jonghyun yang berubah. Matanya kini memancarkan kesedihan yang tak kumengerti.
“Anu..bukannya aku tidak suka pergi bersamamu. Tapi oppaku pasti sudah bingung mencariku.” Kataku pelan.
“Dan, kalau kau belum mau pulang, aku tidak apa. Aku akan pulang sendiri.” Lanjutku buru-buru.
“Andwae. Andwae.” Kata Jonghyun setengah berteriak. Aku sampai kaget melihat tanggapannya yang terlalu berlebihan.
“Anu..aku yang sudah mengajakmu pulang. Sudah seharusnya aku yang mengantarmu pulang.” Katanya pelan.
“Kkaja, kita pulang.” Dia berjalan menuju motornya, sedang aku mengikutinya dari belakang.
****************
Perjalanan pulang terasa begitu lama. Kami berdua banyak terdiam. Sesekali aku menunjukkan jalan menuju rumahku pada Jonghyun. Entah hanya aku yang merasa, tapi sepertinya Jonghyun sengaja melambatkan laju motornya. Sebenarnya aku enggan pulang. Aku enggan melepas semua kebersamaan kami. Tapi aku tahu aku harus pulang. Appa dan Eomma pasti sudah pulang. Mereka pasti sudah khawatir sekarang.
Akhirnya kami sampai juga di depan rumahku. Tapi ada yang aneh. Rumahku tampak begitu ramai. Banyak sekali orang yang ada di sana, dan semuanya memakai baju hitam. Suasananya seperti ada yang meninggal. Aku terkesiap. Siapa yang meninggal? Tanpa pikir panjang segera aku berlari menuju rumah.
Betapa terkejutnya aku saat mendapati di ruang tamu tampak sebuah peti mati yang ditutupi kain putih. Dan di atas peti itu…ada foto… aku mengerjapkan mataku tak percaya. Tidak..ini…tidak..mungkin… Aku melihat fotoku di atas peti mati itu. Tubuhku seakan membeku. Aku menatap kaku ke arah sekitar ruangan.
Terlihat Appaku yang sedang memeluk Eomma erat. Sedangkan Eomma menangis tersedu-sedu dalam pelukan Appa. Di sebelahnya tampak Jinki oppa menatap kaku ke arah perti mati. Air mata meluncur pelan di pipinya, tanpa dia tutupi. Hatiku seakan tertancap sembilu. Tubuhku lemas seketika. Aku jatuh terduduk dan tanpa sengaja aku memandang Seunghyun dan Seunghee di sisi lain ruangan ini. Seunghee menangis terisak-isak, dalam pelukan Seunghyun.
“Ini semua gara-gara aku.. coba aku bersikeras pulang bersamanya.” Kata Seunghee di sela-sela isakannya.
“Ani, Seunghee-ah… Ani… ini semua salahku. Seharusnya aku tidak menghalangimu yang akan pulang bersamanya.” Suara Seunghyun terdengar parau, dan dia ikut menangis bersama Seunghyun.
Tiba-tiba kepalaku berdenging. Aku pusing luar biasa. Aku memegang kepalaku erat. Bagaimana mungkin mereka semua mengira aku meninggal? Bukankah aku ada di sini, di antara mereka? Lalu bukannya aku melewatkan sesorean ini bersama Jonghyun? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Missing link yang menghilang dari otakku saat aku terbangun di tepi jalan tadi.
~Flashback~
“Mungkin aku lebih baik ke toko buku dulu saja.” Pikirku saat melihat toko buku di seberang jalan. Tanpa pikir panjang aku langsung menyeberang, menuju toko buku itu. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi klakson nyaring yang memekakkan telinga. Aku menengok ke arah sumber bunyi itu. Kulihat sebuah sedan hitam yang meluncur cepat ke arahku. Pengemudinya berteriak menyuruhku minggir. Sepertinya rem mobil itu blong. Aku hanya bisa memandang kaku ke arah mobil itu. Aku ingin berlari menghindar, tapi aku tak kuasa menggerakkan tubuhku sedikitpun.
BRAKKKKK!!!!
Aku mendengar suara seorang wanita yang menjerit, sepertinya itu suaraku, dan kemudian gelap yang kurasakan.
~End of Flashback~
Kemudian aku teringat saat Jonghyun memandang kaku ke arah seberang jalan yang sempat kulalui, pasti dia tengah memandang tempat dimana aku tertabrak, lalu perilaku Jonghyun yang aneh saat kami bertemu di depan toko buku, dan lariku yang sangat cepat.
Jadi itu semua benar. Itu benar. Aku sudah meninggal. Aku bukanlah manusia. Aku hanyalah roh tanpa tubuh. Aku menjerit kuat.
“TIDAAAAAAKKKKKKKKKK!!!!!!!!!”
Kemudian aku berlari keluar. Jonghyun yang menunggu di dekat motornya terperangah melihatku yang berlari. Aku tidak memperdulikannya. Aku hanya ingin berlari, dan menenangkan diriku.
“Sora-ssi!!!!” teriaknya. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin berlari, dan terus berlari. Entah ke mana..
*******************
Aku memandang bintang yang terlihat begitu indah di langit. Sesaat kugoyangkan ayunan tempatku duduk. Tiba-tiba kurasa ada orang yang duduk di ayunan sebelahku. Aku menoleh, dan kulihat Jonghyun duduk, tanpa memandangku. Aku memalingkan wajahku. Sesaat kami terdiam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
“Kau sudah tahu dari awal kalau aku…” kugantungkan kalimatku, rasanya aku tidak kuasa menyebut satu kata itu.
“Ne.”
“Kenapa kau tidak memberitahukannya langsung padaku?”
“Apa aku tega mengatakan kalau kau sudah….” dia pun tidak kuasa melanjutkan kata-katanya.
“Lalu kenapa kau bisa melihatku? Tadi banyak sekali orang di rumahku, tapi tidak ada seorangpun yang bisa melihatku.”
“Itu sudah jadi kemampuanku sejak kecil. Aku bisa melihat roh, arwah, dan sejenisnya. Itu jugalah yang membuat aku menarik diriku dari pergaulan. Aku takut banyak yang akan menganggapku aneh kalau mengetahui kemampuanku. Karenanya sebisa mungkin aku menutup diri dari teman-teman.”
“Apa Seunghyun tahu?”
“Ne. Bahkan awal dari persahabatan kami karena aku menolongnya dari arwah anak perempuan yang tergila-gila padanya. Lucu sekali, anak perempuan itu, meski sudah jadi arwah penasaran masih saja terus mengikuti Seunghyun. Yang membuatku heran, Seunghyun tidak kaget ataupun takut setelah mengatahui kemampuanku. Sejak itulah kami bersahabat.”
“Arwah anak perempuan itu…dia sebenarnya apa?”
“Kasihan sekali dia. Dia tidak tenang meninggalkan dunia ini, sehingga arwahnya gentayangan tidak menentu.”
“Apa aku juga seperti dia?” aku menoleh memandang Jonghyun. Jonghyun masih saja tidak memandangku. Pandangannya lurus ke depan.
“Ani. Kau berbeda. Biasanya arwah yang seperti itu rohnya tidak utuh. Tapi kau begitu utuh, tidak kurang suatu apapun. Saat di pantai, aku melihatmu untuk memastikan apa ada sesuatu yang tidak utuh dari dirimu. Tapi tidak ada yang kurang padamu. Rohmu sempurna, seperti manusia yang hidup. Hanya saja tanpa tubuh. Dan kau..masih saja secantik biasanya.” Aku melihat semburat merah di wajah tampannya. Aku memalingkan wajahku yang terasa panas. Apa wajahku juga bisa memerah ya?
“Lalu kenapa aku bisa berjalan-jalan begini? Kenapa aku tidak pergi ke alam lain?” tanyaku perlahan.
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Jarang aku menemukan roh yang begitu utuh sepertimu di sekitarku. Biasanya roh yang utuh akan langsung pergi ke alam lain. Tapi aku bersyukur Tuhan tidak langsung memanggilmu.”
“Waeyo?” aku benar-benar heran dengannya. Aku menoleh dan menatapnya yang tengah memandangku lekat.
“Karena aku bisa bicara denganmu, aku bisa pergi denganmu, dan aku bisa mengungkapkan apa yang kupikirkan tentangmu selama ini. Selama ini aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Aku suka sekali melihatmu yang begitu ceria, aku suka semua tentangmu. Dan yang paling kusuka adalah senyummu. Aku sangat suka melihatmu tersenyum. Belum pernah aku merasakan yang seperti ini. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku tidak berani mendekatimu, meski hanya selangkah. Karena aku tahu aku ini memiliki kemampuan aneh. Dan jika aku dekat denganmu, cepat atau lambat kau akan mengetahuinya. Aku tidak ingin kau menjauh karena ketakutan dan menganggapku aneh. Aku rela setiap orang mencemoohku karena kemampuan anehku ini, tapi aku tidak ingin kau memandangku begitu. Karena aku mencintaimu. Sora-ssi, Saranghaeyo.” Jonghyun tersenyum lembut sambil memandangku.
“Jonghyun-ssi, aku pun merasakan hal yang sama. Sudah sejak lama aku juga menyukaimu. Tapi kau begitu tertutup, kau seolah membentengi dirimu dari orang lain. Itu yang membuatku ragu. Jonghyun-ssi, Nado Saranghae”
“Gomawo, Sora-ssi. Terima kasih karena kau telah memberikan satu hari terindah dalam hidupku. Terima kasih, kau telah membuatku bersyukur memiliki kemampuan aneh ini untuk pertama kalinya.”
“Ani. Harusnya aku yang berterima kasih. Terima kasih karena kau telah membuatku mengenal perasaan indah ini, dan merasakan ada orang lain yang mencintaiku. Terima kasih untuk satu hari yang indah ini, meski untuk terakhir kalinya dan tak kan pernah terulang.”
Aku merasakan ada cahaya dari langit yang berpendar menyinariku. Aku tahu inilah saatku. Aku harus sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan satu hari yang indah bersama Jonghyun. Aku berdiri dan bersiap pergi.
“Jonghyun-ssi, aku pergi dulu. Sekali lagi terima kasih. Saranghae.” Kataku dengan suara yang bergetar.
“Nado saranghae.” Katanya sambil tersenyum, meski air mata meluncur deras di pipinya. Ah, jika saja aku masih hidup, pasti aku akan menangis sama sepertinya.
~End of Sora POV~
~Jonghyun POV~
Aku bergetar memandang tubuh Sora yang perlahan-lahan menghilang. Air mata meluncur deras di pipiku. Saat Sora benar-benar menghilang, langit seketika berubah mendung, cahaya bintang seakan lenyap ditelan awan tebal, benar-benar gelap dan suram. Segelap hatiku yang merasa kehilangan bintang.
Dialah bintang bagiku. Sejak pertama menatapnya, aku sudah jatuh hati padanya. Dia seolah menerangi mendung di hatiku. Tiap malam, saat aku merasa kesepian, mengingat senyumnya membuatku merasa tak sendiri lagi. Semua ucapannya, semua tingkah lakunya, dan semua yang kulihat tentang dirinya terekam dengan baik dalam otakku, dan selalu muncul di saat aku merasa sedih dan menyesali kemampuan anehku ini. Selalu berhasil membuatku tersenyum. Aku hapal caranya tersenyum. Aku hapal gelak tawanya. Tawanya selalu mengobarkan api semangat dalam diriku, bagai udara yang mengisi paru-paruku.
Tapi kini dia pergi, meninggalkan lubang penyesalan yang begitu dalam di hatiku, membuatku terbenam ke dalamnya bersama dengan segenap cintaku padanya.
Angin malam mulai berhembus kencang. Kudekap dadaku erat, seolah angin ini membuat lubang itu semakin dalam. Dan kini hanya perih yang kurasa di dasar lubang itu. Air mataku tak terbendung lagi. Aku mencintainya. Aku sangat mencintainya. Kata-kata ini terus terngiang di telingaku. Membuat kepalaku seolah akan meledak akan penyesalanku. Andai sejak dulu… andai aku diberi kesempatan kedua.
Tapi aku tahu aku seharusnya merasa bersyukur. Aku diberikan kesempatan untuk berbicara dengannya, memandang lekat dirinya, dan tertawa bersamanya oleh Tuhan. Meski hanya untuk terakhir kali… Meski tak akan terulang lagi.
Lee Sora, Jeongmal Saranghaeyo…. I will always love you.. Semoga kau tenang di alam sana. Tunggulah aku… Aku akan menyusulmu ke surga….
Tunggu aku…
THE END